Meninjau Peran Majelis Wali Amanat dalam Susunan PTN BH UNS

uns.ac.id

Sejak tahun 2013, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia telah beralih status dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). PTN BH merupakan kedudukan tertinggi suatu perguruan tinggi dan merupakan subjek hukum yang otonom. Untuk kesekian kalinya, pemerintah bermaksud menetapkan PTN BH baru melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2020 tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Universitas Sebelas Maret. Melalui penetapan ini, Universitas Sebelas Maret (UNS) menjadi perguruan tinggi ke-12 yang berstatus PTN BH.

Penyesuaian susunan organisasi pun diberlakukan hingga terbentuk kelembagaan baru bernama Majelis Wali Amanat (MWA). MWA UNS beranggotakan tujuh belas orang yang terdiri dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Rektor UNS, Ketua Senat Akademik (SA), empat orang wakil masyarakat, tujuh perwakilan SA, serta tiga orang perwakilan lain termasuk MWA Unsur Mahasiswa (UM). MWA menjadi organ paling vital dalam susunan PTN BH, di mana MWA merupakan lembaga tertinggi di PTN BH. 

Adapun tugas dan wewenang yang dimiliki MWA berdasarkan PP Nomor 56 Tahun 2020 meliputi: (1) menyetujui usul perubahan Statuta UNS; (2) menetapkan kebijakan umum UNS; (3) mengesahkan rencana induk pengembangan, rencana strategis, rencana kerja, dan anggaran tahunan; (4) mengangkat dan memberhentikan Rektor; (5) mengangkat dan memberhentikan ketua dan anggota KA; (6) mengangkat dan memberhentikan anggota kehormatan MWA; (7) melaksanakan pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan nonakademik UNS; (8) melakukan penilaian tahunan terhadap kinerja Rektor; (9) membuat keputusan tertinggi terhadap permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh organ lain; (10) membina jejaring dengan institusi dan/atau individu di luar UNS; (11) memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan dalam rangka mengembangkan kekayaan dan menjaga kesehatan keuangan; dan (12) mengatur hubungan antarorgan UNS.

Peran, Posisi, dan Langkah yang Diambil MWA UM

Keberadaan anggota MWA UM dalam susunan organisasi cukup penting untuk disoroti. Hal ini dikarenakan tidak semua perguruan tinggi berstatus PTN BH dapat mengakomodir kepentingan mahasiswa dengan adanya MWA UM. Dalam satu tahun masa transisi ini, Muhammad Zainal Arifin (Ipin) yang merupakan ex-officio Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS terpilih menjadi MWA UM melalui musyawarah yang diadakan hari Senin (2/11/2020).

Sebagaimana anggota MWA lainnya, MWA UM akan turut melaksanakan tugas-tugas MWA sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 56 Tahun 2020. Ada pun terkait perbedaan tugas dengan lembaga-lembaga mahasiswa lain, MWA UM lebih berfokus pada hal-hal nonteknis yang tidak dapat dilakukan oleh lembaga maupun organisasi mahasiswa yang lain seperti melakukan pengusulan anggaran dan peraturan-peraturan. Sementara itu, BEM lebih berfokus pada hal-hal yang sifatnya lebih teknis sebagai corong advokasi dan informasi mahasiswa seperti menyampaikan informasi ke rektorat. Tugas MWA UM juga berbeda dengan DEMA yang lebih berfokus pada pengawasan BEM. Dalam menjalankan tugas, Ipin akan dibantu oleh sebuah tim yang ia beri nama Badan Kelengkapan MWA UM.

“Jadi organisasi ini ada tapi tidak resmi karena tidak tercatat di ormawa-ormawa mana pun, karena itu cuma sebatas supporting system. Tim tersebut nggak akan jadi UKM, tim tersebut nggak akan jadi ormawa, karena itu cuma supporting system dari satu orang MWA UM ini. Tapi tetap kayak organisasi-organisasi lainnya ada kepala bidang, staff, dan lain-lain,” jelas Ipin saat diwawancara Erythro dan Adkesma hari Jum’at (6/11/2020).

Sementara itu, beberapa kendala yang mungkin akan dihadapi Ipin nantinya ialah terkait sistem yang masih belum jelas.

“Akan sedikit mengubah budaya-budaya dari kegiatan mahasiswa kita. Misalnya terkait pemilihan MWA UM kemarin. Itu kan di kampus kita nggak mengenal musyawarah terbuka yang mengundang seluruh lembaga universitas, fakultas, prodi. Jadi hal-hal seperti ini menjadi budaya baru bagi student government kita dan ini akan sedikit menguras energi juga, menata student government yang bisa menjadi supporting system dalam MWA UM,” jelasnya. “Kendala kita itu di sistem kita belum begitu jelas terkait supporting system nantinya. Bagaimana koordinasi MWA UM kita ke BEM, bagaimana koordinasi ke DEMA, Forkom, Pascasarjana, dan lain-lain belum diatur, jadi itu harus segera dibahas. Sistem kita belum begitu baik.”

Tanggapan Terkait Pro dan Kontra

Perolehan status PTN BH dapat dikatakan sebagai sebuah pencapaian bagi suatu perguruan tinggi, mengingat terdapat persyaratan ketat guna mencapai status tersebut yang melibatkan unsur prestasi mahasiswa. Meski begitu, perubahan status ini juga menuai sejumlah pro dan kontra dari berbagai kalangan, khususnya mahasiswa. Hal ini berkaitan dengan adanya beberapa perubahan seperti dari segi finansial, tarif biaya, dan layanan; pengelolaan program studi; dan pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Hak pengelolaan secara mandiri melalui status PTN BH ini menuai anggapan bahwa negara sedikit lepas tangan akan tanggung jawabnya dalam menjamin hak warga negaranya untuk memperoleh pendidikan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Ipin mengungkapkan bahwa jika ditarik garis besar, baik pihak yang sepakat maupun yang tidak sepakat dengan PTN BH memiliki sebuah kesamaan yaitu sama-sama tidak sepakat dengan komersialisasi, liberalisasi, dan privatisasi di UNS. Keduanya memiliki tujuan yang sama, hanya saja jalan yang diambil berbeda.

“Nah yang sepakat PTN BH dengan catatan itu tadi, dia memanfaatkan adanya MWA ini menjadi momentum. Karena selama ini kita bergerak dari tahun ke tahun kan menuntut transparansi ya, dan di MWA ini menjadi momentum transparansi ini dibuka-buka, makanya ini jadi momentum. Memanfaatkan momentum untuk mencegah komersialisasi itu. Dan teman-teman yang menolak PTN BH juga sama, kan, tetap menolak komersialisasi dengan jalan masing-masing. Intinya jalan kita berbeda tapi dengan tujuan yang sama, menolak komersialisasi ini. Itu dinamika yang wajar sih menurutku di dalam kampus,” ujar Ipin.

Selain itu, Ipin juga memberi tanggapan terkait keresahan beberapa pihak lantaran posisi ketua MWA dipegang oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ipin secara jelas di posisi MWA UM maupun Presiden BEM menolak dan keberatan Panglima TNI menjadi ketua MWA karena hal ini tidak sesuai dengan enam tuntutan reformasi yang salah satunya ialah menghapus dwifungsi ABRI.

“Secara hukum dan secara aturan kami belum menemukan, sih, Panglima TNI itu dibolehkan atau nggak, tapi secara norma dan secara yuridis reformasi itu sangat disayangkan. Takut ada militerisme di kampus, kan kampus wilayah kebebasan akademik,” tutur Ipin.

Rencana ke depan, berdasarkan hasil konsolidasi antara MWA UM dengan lembaga-lembaga mahasiswa lain di UNS, kesepakatan yang diambil adalah mengajukan pakta integritas ke seluruh anggota MWA. Salah satu poin dari pakta integritas tersebut yakni memastikan anggota-anggota MWA termasuk anggota Panglima TNI untuk tidak mengintervensi terkait hal-hal militer di kampus.

——

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi antara Erythro dengan Adkesma BEM FK UNS. Tim melakukan wawancara dengan narasumber pada Jum’at (6/10/2020) melalui Google Meet.

Penulis: Laras (Erythro)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *