Belajar Art Therapy dalam Rising Awareness of Mental Health CIMSA FK UNS

Penjelasan Art Therapy oleh Cindy Harjatanaya. (LPM Erythro/Alya)

Minggu (1/11/2020) telah diselenggarakan Rising Awareness of Mental Health (RAMEN) hari kedua oleh CIMSA Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) melalui Zoom Meeting dan siaran langsung Youtube. Pada hari kedua ini, diadakan Art Theraphy berjudul Healing Trough Art” yang dipandu oleh art therapist Cindy Harjatanaya, MA (AThR).

Acara ini diawali oleh penjelasan mengenai apa itu art therapy. Dalam pemaparannya, Cindy menjelaskan bahwa art therapy berbeda dengan buku-buku mewarnai yang ada di pasaran, yang biasa membawa “embel-embel” art therapy. Buku-buku tersebut bukan merupakan art therapy, melainkan therapeutic art,yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan memberikan efek melepas stres yang dapat dilakukan tanpa pantauan terapis tetapi tidak untuk semua orang terutama orang yang mudah cemas.

Art therapy sendiri merupakan bentuk psikoterapi yang menggunakan seni rupa sebagai bentuk komunikasi dan ekspresi. Art therapy adalah bentuk mengekspresikan emosi-emosi yang dirasakan oleh diri. Bentuknya dapat berupa menggambar, melukis, membuat patung dari clay, atau membuat kerajinan. Selain itu, art therapy dapat juga dilakukan hanya dengan bermain warna-warna. Terapi ini dapat dilakukan untuk semua umur, tanpa memandang keahlian membuat seni. Terapi ini bertujuan untuk membuat orang yang melakukannya menyadari dan memahami emosi dalam alam bawah sadar mereka sehingga kemudian bisa dicari apa saja hal yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Sesi terapi dibagi menjadi tiga bagian dan dipandu oleh terapis. Sesi ini dimulai dengan pembacaan aturan pada terapi serta persiapan alat dan bahan oleh masing-masing peserta. Kemudian, sesi dilanjutkan dengan bagian pertama dari terapi yaitu mencoret-coret media menggambar yang digunakan. Pada bagian kedua, peserta diarahkan untuk membuat lingkaran kehidupan tentang apa yang disukai dan tidak disukai.

Selanjutnya, pada bagian akhir, peserta diarahkan untuk membuat gambar atau tulisan tentang safe place atau safe person maupun tempat aman yang berbentuk lain seperti memori, makanan, minuman, dan sebagainya. Beberapa peserta kemudian diminta untuk menceritakan apa yang telah mereka buat kepada terapis. Acara ini diakhiri dengan sesi tanya jawab. (ALYA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *