Solo, Kabar Erythro – Pemutaran dan Diskusi Film Take Back digelar Sabtu (03/08) secara khidmat di halaman Studi Kopi Ndaleme Eyang. Film yang menjadi “Lakar Dowo”-nya sampah impor ini memberikan perspektif tersendiri tentang temuan fakta sampah impor yang belakangan ini sempat gencar dan ramai di kalangan publik.
Menurut Linda Nursanti selaku produser, secara bahasa, judul film Take Back berarti ‘ambil kembali’, merujuk kepada sampah-sampah plastik domestik dari negara asal yang ikut tersisipkan ke dalam impor sampah kertas. Film ini bermaksud menyadarkan kembali tentang adanya sampah plastik domestik yang dicurigai secara sengaja disisipkan oleh negara asal sampah tersebut.
Seringkali terdapat kesalahpahaman di kalangan publik yang beranggapan bahwa seluruh sampah impor itu dilarang dan tidak boleh masuk ke dalam Indonesia. Padahal, Indonesia masih membutuhkan impor sampah kertas untuk didaur ulang, yakni diolah kembali menjadi kertas siap pakai seperti kertas buram, koran, dan lain sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia dianggap belum memiliki sistem daur ulang kertas secara komprehensif sehingga tidak mampu memenuhi jumlah kebutuhan bahan pokok kertas daur ulang yang mengakibatkan perlunya impor sampah kertas.
“Ya simpel aja sih. Lha wong kita aja belum bisa memilah sampah dengan baik,” ucap Linda dengan santai.
Agenda yang sengaja diselenggarakan malam hari ini memberikan suasana khidmat tersendiri. Tempat penyelenggaran yang juga warung kopi ini juga turut serta mendukung gerakan cinta lingkungan, dimulai dari mengganti sedotan plastik dengan sedotan kertas. Dalam pelayanannya pun, sedotan kertas tidak langsung diberikan ke dalam mulut gelas atau botol, melainkan di sisinya. Hal ini membuat para pengunjung dapat memilih menggunakan sedotan atau tidak.
Selain investigasi oleh The Party Department atas temuan sampah impor yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika, Inggris, Kanada, Australia, dan New Zealand, film ini juga berhasil mendokumentasikan salah seorang relawan yang juga aktivis lingkungan, Prigi ketika melakukan aksi damai dengan membawa dan mengirimkan kembali secara simbolis sampah ke masing-masing kedutaan besar yang sebelumnya telah berhasil masuk ke dalam teritori Indonesia, tepatnya di Mojokerto, Jawa Timur.
Selain pemutaran film, di sela-sela rangkaian agenda terdapat sesi diskusi dengan narasumber Mada Ariya selaku sutradara dan Linda Nursanti selaku produserserta perwakilan dari Komunitas Kresek Solo. Pada salah satu kesempatan, diskusi mengangkat aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan yang seringkali dianggap hanya sebatas mengkritik. Padahal, jauh sebelum itu para aktivits lingkungan telah berdiskusi panjang lebar untuk mencari solusi atas permasalahan sampah ini. Bahkan, mereka tak segan untuk melakukan aksi damai seperti yang dilakukan Prigi dan teman-teman aktivis saat agenda Meeting of the Basel Convention Geneva Swiss seraya memberikan rekomendasi dan tuntutan untuk negara asal pembuang sampah supaya tidak lagi membuang sampah domestiknya ke Indonesia. (FIRDAUS)