Kenapa Produk Jurnalistik Tidak Boleh Diintervensi, Bahkan Oleh Sesama Pegiat Jurnalistik
Oleh: Firdaus Ferdiansyah
Berulang kali saya mendapati saran, usulan, atau aspirasi (dikira saya D*R haha, doakan saja) untuk ikut serta dalam mengangkat isu atau kejadian tertentu guna meningkatkan daya tarik tersendiri yang dikemas dalam produk jurnalistik. Alih-alih mencoba memberikan sudut pandang tersendiri, seringkali saya merasa kesulitan akibat terjebak dalam romantisme isu dengan dalih untuk mengurangi polarisasi antara satu dengan yang lain.
Bukan bermaksud menjadi yang paling paham tentang jurnalistik —saya cukup sadar diri dengan kemampuan dan kapasitas diri saya yang tidak seberapa, ditambah studi saya yang berbeda jalur dengan jurnalistik. Kiranya, saya masih menemukan banyak sekali yang belum paham sepenuhnya dengan jurnalistik dan cara kerjanya. Percaya atau tidak, bahkan tidak sedikit pers mahasiswa (persma) yang seperti itu.
Ada hal lain yang sering kali keliru di kalangan publik tentang netralitas seorang pers. Tentu para senior persma pun paham tentang ini. Tak ada yang namanya netralitas dalam pers. Apalagi dalam mengangkat isu-isu tertentu, netralitas tidak dikenal dan tidak disarankan untuk dimasukkan ke dalam produk pemberitaan. Alternatifnya, persma boleh mengenal apa yang disebut dengan independensi. Keputusannya untuk mendukung atau berpihak itu tidak boleh diintervensi, bahkan oleh sesama persma yang masih berada dalam satu meja redaksi yang sama. Tidak ada kepentingan satu atau dua, baik individu maupun kelompok, yang dapat masuk, kecuali kepentingan publik. Hal ini yang kemudian ditafsirkan jikalau media harus berpihak, keberpihakannya tidak ditunggangi ataupun dikehendaki oleh siapapun, termasuk oleh sesama pers. Ini lah yang disebut dengan independensi, sebagai bentuk representasi dari civil society dan pengaplikasian social control terhadap tatanan demokrasi ini.
Oleh karenanya, produk-produk pemberitaan yang dirilis kiranya sudah memenuhi syarat-syarat produk jurnaslistik, yakni memenuhi unsur dasar jurnalistik 5W+1H, dilakukan oleh seorang pers, diterbitkan oleh media pers, dengan berpatokan pada standar lembaga media masing-masing tanpa mengurangi kaidah bahasa kepenulisan. Itu kenapa saya berani menyebutnya dengan produk jurnalistik. Seharusnya, seorang pers tidaklah menjadi salah satu yang termasuk dalam pihak-pihak yang berkepentingan. Ibarat sebuah lingkaran yang kemudian bertemu dengan lingkaran lainnya, seorang pers harus bisa menarik diri dari masing-masing lingkaran tersebut untuk menciptakan sudut pandang tersendiri dalam pemberitaan yang nantinya akan dikonsumsi oleh publik (apabila telah lolos dalam validasi ini itu).
Tentu saja di setiap pemberitaan yang dikeluarkan oleh lembaga media atau pers itu tidak seluruhnya dikemas dengan sempurna. Kerap masih ditemui beberapa pemberitaan yang dianggap keliru atau kurang tepat untuk diangkat. Bahkan saya sendiri tidak berani mengeluarkan satu pemberitaan tanpa melalui proses pemberitaan jurnalistik di meja redaksi. Untungnya, Undang-Undang (UU) Pers memiliki mekanisme tersendiri bagi kita, kalian, atau siapa pun yang merasa dirugikan dengan adanya karya pemberitaan, yaitu dengan menggunakan Hak Jawab dan Hak Koreksi terhadap lembaga media yang mengeluarkan pemberitaan tersebut. Maka, gunakan dan manfaatkanlah dengan BIJAK.
Terakhir, dalam isu terakhir yang berkembang, semoga kita tidak mengenal kembali produk-produk jurnalistik yang dibredel. Wartawan yang diintimidasi. Media yang takut memunculkan kebenaran. Itu yang membedakan kita dengan Humas Kampus.
Penulis merupakan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Erythro