Beberapa bulan terakhir ini, seluruh dunia telah dihebohkan dengan merajalelanya virus Covid-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China. Virus itu telah memakan begitu banyak korban jiwa dalam waktu yang begitu singkat dan membawa dampak yang cukup besar pada dunia, khususnya Indonesia. Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus yang sangat mudah tersebar hingga akhirnya pemerintah mengambil langkah untuk menghimbau agar seluruh masyarakat melakukan aktivitas di rumah saja.
Tak pernah terpikir sebelumnya bukan bahwa akan melakukan aktivitas di rumah dalam waktu yang tak dapat ditentukan kapan berakhirnya? Hal itu tentu berdampak mulai dari perekonomian hingga Pendidikan, ya Pendidikan memiliki dampak yang cukup terlihat. Akibat Covid-19 yang telah ditetapkan menjadi pandemi ini, seluruh Ujian Nasional mulai tingkat SD hingga SMA sederajat dihapuskan, sistem pembelajaran sekolah maupun kuliah dialihkan menjadi pembelajaran menggunakan daring. Tentu hal tersebut memerlukan waktu untuk memulai adaptasi kembali.
Mungkin pada awalnya setelah mendengar informasi tersebut, banyak orang begitu menikmati karena disangka dapat lebih santai, banyak rebahan, dan beristirahat di rumah. Namun, setelah berjalan beberapa minggu, rasa bosan dengan rutinitas di rumah yang hanya itu-itu saja, tugas yang tak kunjung selesai, serta merasa terisolasi karena aktivitas terbatas mulai dirasakan. Tak banyak yang akhirnya justru mengalami stress karena hanya di rumah saja.
Menurut seorang psikolog, pada masa pandemi yang paling sering mengalami stress adalah remaja. Wah, kenapa bisa remaja? Hal itu terjadi karena pada usia remaja, hal yang paling mempengaruhinya adalah pertemanan, dimana mereka biasanya bersosialisasi dan menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya. Meskipun dalam kondisi ini tidak memutus sosialisasi mereka karena kegiatan tersebut masih dapat dilakukan dengan daring, namun jika tidak bertemu langsung pun rasanya akan berbeda. Ditambah dengan kebiasaan para remaja mengerjakan tugas bersama atau bermain bersama setelah kelas, pada situasi ini tidak bisa dilakukan. Sekarang mereka mau tidak mau harus mengerjakan di rumah tugas-tugas yang diterimanya sendiri dan menghabiskan banyak waktu di rumah. Itulah stressor yang dihadapi oleh mereka.
Akibatnya, banyak diantara mereka yang akhirnya tidak mengikuti himbauan pemerintah untuk di rumah saja, mereka berlalu-lalang di jalan, nongkrong di café, atau dengan maksud menjaga perbatasan namun justru main di posko ramai-ramai. Mirisnya, mereka tahu bahwa Covid-19 itu berbahaya, namun karena merasa tak terkalahkan dengan merasa diri nya sehat, maka stress dan bosan di rumah menjadi alasan untuk akhirnya bermain di luar rumah. Hal itu dapat terjadi karena perkembangan otak pada remaja bagian amygdala yang berkaian emosi sudah berkembang secara maksimal, sedangkan otak bagian prefrontal yang berfungsi sebagai mengendalian diri masih proses dari perkembangan. Itulah yang menyebabkan mengendalian diri remaja masih kurang sehingga masih sering ditemukan remaja yang nongkrong, buka bersama yang sudah jelas dilarang.
Untuk menghindari stress selama di rumah aja, mereka bisa belajar beradaptasi dan menyesuaikan diri, serta mencari coping stress baru yang bisa dilakukan selama di rumah, mereka juga harus menyediakan waktu untuk dirinya sendiri seperti menonton hiburan atau bermain games, sehingga rasa bosan dan stress yang dihadapi dapat berkurang atau bahkan hilang. Karena untuk mempercepat pemberhentian virus Covid-19 itu bukan saja tugas pemerintah, namun dibutuhkan juga kesadaran masyarakat dan itu juga merupakan tugas kita semua.
Tentang Penulis
Fatimah Mutia adalah mahasiswa psikologi Fakultas Kedokteran UNS angkatan 2019. Saat ini, ia menjabat sebagai anggota media LPM Erythro.