Dilema Anak-anak Pencari Nafkah

      1 Komentar pada Dilema Anak-anak Pencari Nafkah

Oleh: Yaasin Rachman Noor

Apa yang terlintas di pikiran kita ketika kita ditanya apa sih yang dimaksud dengan anak? Menurut Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat (1) yang dimaksud anak adalah semua orang yang belum mencapai umur 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Dijelaskan dalam Undang – Undang nomor 39 tahun 1999 pasal 1 ayat (5) anak merupakan setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak dalam kandungan. Anak di sisi lain juga merupakan anugerah bagi para orang tua yang jelas akan selalu disayangi dan dilindungi oleh mereka. Selain itu, anak juga merupakan generasi penerus bangsa karena siapa lagi yang akan menggantikan tokoh – tokoh yang berpengaruh kalau bukan anak yang nantinya menjadi dewasa?

            Seiring dengan semakin bertambahnya penduduk di Indonesia, muncul berbagai permasalahan di masyarakat Indonesia. Salah satu yang tidak dapat dipungkiri lagi adalah munculnya pekerja anak yang jumlahnya sangat mencemaskan menurut data dari beberapa instansi baik media maupun perlindungan anak misalnya saja Kompas dan ILO. Dikatakan bahwa jumlah pekerja anak pada 31 Desember 2014  mencapai 1,7 juta pekerja anak dan baru 63.055 pekerja anak yang ditarik dari pekerjaannya untuk dikembalikan bersekolah dari tahun 2008 hingga 2014. Yang cukup memprihatikan lagi bahwa mayoritas pekerja anak banyak terdapat di kota – kota besar seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, berdasarkan data dari Kementerian Tenaga Kerja. Menurut keterangan dari International Labor Organization (ILO) anak usia 5 – 7 tahun saja masih sangat banyak yang dipekerjakan dan mereka bekerja pada sektor yang berbahaya. Sektor – sektor tersebut antara lain sektor pertambangan, penggalian, konstruksi, pertanian, pekerja rumah tangga, perikanan dan jasa industry. Padahal, mempekerjakan pekerja anak justru meningkatkan risiko kecelakaan kerja di tempat – tempat tersebut.

            Banyak keluarga yang hidupnya sulit dikarenakan perkembangan ekonomi Indonesia yang cukup buruk mengakibatkan orang tua di seluruh Indonesia merampas hak anak mereka sendiri untuk menikmati masa – masa menyenangkan mereka baik itu bersekolah, bermain dengan teman – temannya atau sekedar untuk mendengarkan cerita sebelum tidur menjadi waktu anak – anak harus bekerja keras dengan pemikiran yang ditanamkan oleh orang tua mengenai perlunya uang dan bagaimana mencari uang untuk menyambung hidup keluarga mereka. Namun, tidak dipungkiri bahwa hal tersebut sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa,bukan? Terlepas dari bagaimana kita mampu menanggapi dan berbuat apa untuk mereka, kita nyaris tidak dapat berbuat apa – apa karena anak lebih percaya apa yang dikatakan oleh orang tua mereka.

            Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi atau memicu timbulnya pekerja anak di Indonesia antara lain adalah faktor ekonomi dan kemiskinan, faktor sosial budaya, faktor pendidikan, faktor urbanisasi, lemahnya pengawasan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh intitusi, dan tuntutan produksi yang cepat. Kemiskinan keluarga menjadi faktor yang paling utama dalam munculnya pekerja anak seperti yang sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Dari segi sosial budaya, pandangan masyarakat sangat lekat dengan paradigma bahwa anak yang bekerja itu merupakan anak yang berbakti pada orang tua mereka bahkan dikatakan mengangkat harkat martabat keluarga. Sungguh ironis sekali. Pendidikan yang rendah dari orang tua pun mempengaruhi keterbatasan pandangan orang tua akan pentingnya anak untuk menikmati masa kecilnya dan tidak dipekerjakan seperti kuda pacu dari pagi hingga malam. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan itu tidak perlu bersekolah tinggi, sekolah itu mahal biayanya dan bahkan mengatakan bahwa sekolah tinggi – tinggi hanya akan jadi pengangguran di masa depannya, masyarakat seperti itu masih ada di Indonesia. Bila tidak ada, mengapa jumlah pekerja anak tidak berkurang justru bertambah mungkin tiap harinya? Keluarga – keluarga yang tidak puas dengan ekonomi mereka seringkali menyalahkan pada lingkungan hidup mereka yang tinggal di pedesaan sehingga tidak menjamin ekonomi mereka. Hasilnya adalah mereka mengadu nasib ke kota dan justru menempuh jalan untuk mempekerjakan anaknya sebagai “penghasilan tambahan”.

            Bentuk pekerjaan anak – anak ini pun relatif beragam. Mulai dari yang dikatakan sangat ringan nan praktis seperti mengemis, menjadi kondektur angkutan umum seperti bus, angkot dll, ojek paying dan menjajakan koran di lampu merah. Mereka dipaksa memakai pakaian yang lusuh, kotor, bahkan harus rela kehujanan, kedinginan dan dicaci maki orang – orang kaya nan sombong yang hanya memandang rendah mereka. Namun, tidak hanya pekerjaan ringan saja, bahkan di Indonesia sendiri sudah sangat banyak anak – anak yang menjadi pekerja di pertambangan, menjadi kuli angkut bangunan, pekerja di pabrik – pabrik tertentu misalnya saja pabrik makanan, pabrik logam, pabrik kimia, dan pekerjaan yang sangat berisiko untuk kesehatan anak – anak seperti memulung di tempat pembuangan sampah terpadu untuk kemudian dijual. Pekerjaan terburuk sekalipun seperti perbudakan, ekspolitasi seksual seperti pelacuran dan semacamnya bahkan pekerjaan ilegal seperti menjual narkoba dan penyelundupan barang pun sudah tidak jarang terdengar di pemberitaan. Entah apa yang ada dalam benak orang tua mereka sampai mempekerjakan anak – anak mereka dengan pekerjaan yang tidak sepantasnya seperti itu.

            Sedihnya lagi, semua hal mengenai pelarangan anak untuk bekerja, batasan umur anak untuk bekerja, hak asasi anak dan perlindungan anak sudah ada dan jelas peraturan tertulisnya. Hak asasi anak yang paling mendasar adalah hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, hal ini tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 pada amandemen II pasal 28B ayat (2)yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, ada pula UU nomor 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan yang mengatur mengenai batasan dan bagaimana diperbolehkannya anak bekerja dan masih banyak lagi.

            Target Kementerian Tenaga Kerja bahwa tahun 2022 Indonesia bebas pekerja anak semoga menjadi hal yang nyata mengingat anak – anak Indonesia merupakan generasi emas yang harus dipelihara dan dilindungi hak – haknya. Dimulai dari Kota Makasar kemudian seluruh Indonesia, semoga saja Indonesia bebas pekerja anak benar – benar terwujud. Maka dari itu, stop pekerjakan anak – anak dan selamatkan hak – hak mereka dimanapun dan siapapun diri anda.

1 thought on “Dilema Anak-anak Pencari Nafkah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *