Oleh Hera Pangastuti, K3 2016
Pada hari Kamis yang manis, seperti biasa aku kuliah sebagaimana mestinya. Hari itu, kelas selesai pukul 2 siang. Karena hujan dan aku kelaparan, akhirnya aku mengajak teman-teman untuk makan di kantin. Hingga malam tiba, tersadar motorku masih terparkir di Gedung F FK UNS. Ditemani salah satu temanku, aku mengambil motor pada pukul 18.45. Betapa kagetnya aku ketika helmku hilang, tinggallah motorku sendirian. Karena dalam kondisi bingung, aku memilih pulang ke kos. Aku bercerita tentang kehilanganku pada salah satu sohibku.
Aku: “Anjir helmku ilang.”
“Astagfirullah, tenanan?” Sahabatku, Choi menanggapi.
Aku: “Genah, saiki aku ra nganggo helm. Biasane piye?”
Bener, sekarang aku nggak pake helm. Biasanya gimana?
Choi: “Kok iso sih? Tapi emang udah sering, dan banyak yang kehilangan juga.”
Aku: “Aku yo nggak tau, aku ambil motor udah nggak ada. Mana aku besok harus pulang Klaten. Mosok aku pulang motoran, sirahku gundulan?”
Choi: “Ya pinjam.”
Aku: “Terus kesehariannya, aku nggak pake?”
Choi: “Ya nggak usah. Kan kosmu deket.”
Aku: “Apakah aku masih pantas menyebut diriku mahasiswa K3 yang tiap hari ngomong risiko, kecelakaan, keselamatan, opolah kui, kalau aku sendiri naik motor nggak helm-an?”
Choi: “Jangan terlalu idealis, nanti gila.”
Aku: “Oke. Kalau gitu tak balik. Apakah aku masih pantas mengaku Islam, kalau aku nggak sholat 5 waktu? Apa aku nggak malu sama Tuhan? Helm itu aturan, kewajiban untuk keselamatan, sholat itu aturan, kewajiban untuk umat.”
Choi menjawab dengan keheningan.
Aku: “Kalau manusia sekarang punya tanggung jawab moral dan menerapkan segala keilmuan yang dia dapat dalam kehidupan. Aku rasa mereka nggak akan membenturkan diri mereka pada peraturan. Apalagi menerobosnya secara urakan. Sekarang aku tanya, kamu punya tanggung jawab moral nggak sebagai seorang warga negara terhadap peraturan di negara ini? Oke itu klise. Sekarang kamu punya tanggung jawab moral nggak sama Tuhan, atas otakmu, kepalamu, kedua mata, hidung, pipi, mulut, gigi, dagu, telinga, bahkan kulit wajahmu yang Tuhan berikan lebih dari yang lain?”
Choi hanya bisa terdiam.
Barangkali sedang memikirkan anekdot idealisme yang tergerus arus kekinian sehingga sering kali diremehkan banyak insan.