Oleh Muhammad Yogatama Wirawan (Kedokteran 2015)
Baru-baru ini saya tersadar bahwa ternyata kita tidak sedang baik-baik saja. Dibalik segala kemudahan yang tersedia, ada ironi yang terjadi di kalangan mahasiswa. 2 tahun saya menjadi mahasiswa tidak pernah sekalipun saya benar-benar hikmat mengikuti prosesi kegiatan laporan kinerja organisasi mahasiswa, baik internal maupun eksternal. Bahkan di lingkup organisasi nasional pun saya tetap berperilaku sama, belum juga tersadarkan. Hingga akhirnya ada seorang senior yang bicara begini; ” Mana kalian yang dulu? Yang ketika calon purna jabatan akan membacakan laporan pertanggungjawaban, mereka berkeringat dingin karena takut kalian bantai. Sekarang hal semacam itu sudah mulai hilang. Tidak ada lagi semangat membara dalam mengkaji, tidak ada lagi ganasnya kalian meminta penjelasan. Yang ada hanya iya-iya saja padahal banyak yang bisa dipertanyakan.”
Kejadian di atas pasti kerap kita alami, terutama mahasiswa hampir tua yang sudah banyak melihat pergantian pemangku jabatan politik kampus. Ya, begitulah adanya. Jika untuk isu yang sangat dekat dengan mahasiswa seperti kebijakan kampus saja kita tidak peduli, bagaimana dengan nasib bangsa Indonesia?
Menurut Chance (1986) mengatakan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah. Ternyata, mahasiswa sudah tidak lagi kritis, atau bahasa awamnya mulai muncul benih-benih apatis. Kita tidak lagi tergerak untuk menelaah dan mengkaji tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Kita lebih tertarik dengan hal-hal yang menyenangkan. Seperti menaikkan angka follower sosial media atau push rank game online.
Aksi demonstrasi mahasiswa yang kerap dilakukan mahasiswa pun terkesan belum maksimal membawa perubahan. Meskipun sangat perlu kita apresiasi, karena orang-orang tersebut adalah mahasiswa yang masih mau berpanas-panas membela rakyat Indonesia. Namun, cukup disayangkan ketika aksi hanya menjadi tradisi tanpa ada hal yang benar-benar mendasari. Lebih sering berujung anarki tanpa berakhir dengan solusi. Memaksakan diri padahal belum dengan seksama dikritisi. Semoga aksi-aksi selanjutnya bisa lebih aspiratif dan membawa kebaikan.
Tidak dapat dipungkiri sistem yang ada membuat kita terbuai dan makin jauh dengan masyarakat. Kita masih terbuai keromantisan perjuangan. Mengelu-elukan prestasi mahasiswa masa silam yang lekat dengan titel agen perubahan. Saya takut kita sedang mengidap waham. Waham, karena setiap hari kita merasa bagian dari pembuat perubahan, penyambung lidah rakyat, dan pembela kebenaran. Padahal, sudahkah kita peduli dengan keadaan di sekitar kita? Sudah sedekat apa kita dengan masyarakat? Perubahan apa yang telah kau upayakan? Siapa tahu itu hanya khayalan kita belaka.
Salah satu contohnya, isu LGBT yang sedang beredar akhir-akhir ini seakan-akan luput dari radar informasi mahasiswa. Sangat miris jika ilmu yang kita pelajari seakan tidak ada koneksi dengan masalah di dunia nyata. Mana suara mahasiswa ber-IP tinggi yang mungkin sudah khatam buku-buku terkait kesehatan jiwa atau gangguan seksual. Kalau bukan kita yang punya akses ilmu lebih yang memberi pencerahan pada bangsa ini, mau siapa lagi?. Berharap pada pemerintah saja tidak cukup. Kemenkes masih bergelut dengan wabah difteri yang muncul kembali setelah gempuran gerakan anti vaksin. Ngomong-ngomong tentang gerakan anti vaksin yang mungkin menjadi biang keladi wabah difteri yang sedang terjadi. Saya pernah berpikir, mungkin ini terjadi karena dunia dipenuhi dengan berita hoaks dan berita salah tanpa ada yang mengklarifikasi. Bisa jadi sikap tidak peduli kita yang menyebabkan masyarakat yang kebingungan jadi salah menelan informasi. Mungkin jika saat yang lalu seluruh mahasiswa bikin pencerdasan massal dan bikin gerakan yang melawan kelompok anti vaksin, kejadian luar biasa ini tidak akan terjadi. Mungkin…
Sekarang kita sangatlah eksis, jauh dibanding pejuang-pejuang kita di masa dulu. Sekarang curahan hati tentang mantan saja sudah ribuan yang melihat dan di-like. Entah like itu maksudnya memberi dukungan moril, atau suka kalau orang tersebut jomblo. Bandingkan dengan pejuang dahulu yang membagikan tulisan tentang rasa galau akan masa depan bangsa hanya didengar segelintir teman nongkrong. Hal-hal seperti cinta, barang elektronik baru, atau lagu baru lebih disukai dan lebih aman untuk kita suarakan. Membuat kita lebih eksis daripada kritis membahas isu-isu yang bermakna.
Nah sekarang, apakah eksis saja sudah cukup? Padahal sekali kita share status, akan ada ribuan bahkan jutaan yang membaca. Ternyata eksisnya kita itu tidak serta merta menjadikan kita agen perubahan. Ternyata mahasiswa ‘zaman old’ yang malah lebih sukses membawa perubahan, padahal komunikasi antar pergerakan saja masih harus surat-suratan. Demonstrasi besar-besaran dulu tidak mungkin dishare via grup WA ataupun Line. Pasti butuh effort yang sangat ekstra agar semua orang tahu tentang apa yang mereka suarakan.
Di sini penulis mengajak mahasiswa yang sudah eksis ataupun belum untuk belajar menjadi lebih kritis. Karena dengan menjadi kritis, eksistensi kita akan membawa kebaikan yang lebih masif. Dunia maya butuh kita. Mari kita pertajam kepekaan dan sikap kritis kita terhadap keadaan di sekitar. Lalu kita sebarkan ilmu kita, agar menjadi penerang di kegelapan. Seperti filosofi gelas, tidak ada gelas yang benar-benar kosong. Jika tidak diisi air maka ia akan terisi dengan udara. Begitu pula dunia maya, jika tidak kita isi dengan berita baik, maka sudah pasti akan terisi dengan keburukan-keburukan. Ayo, eksis plus kritis biar tidak apatis apalagi anarkis.
“Buka mata, lalu lihatlah dunia. Sadarlah bumi masih butuh kita… Buka hati, lalu perbaiki diri, karena ujian dari-Nya berawal dari sini.