Child abuse merupakan semua jenis pelecehan dan penelantaran anak di bawah usia 18 tahun oleh orang tua, pengasuh, atau orang lain dalam peran pengasuhan (seperti pemimpin agama, pelatih, guru) yang mengakibatkan kerugian, potensi untuk menyakiti, atau mengancam menyakiti seorang anak (National Center for Injury Prevention and Control, 2016). Tindakan kekerasan yang dilakukan ini dapat berdampak pada fisik maupun mental berupa perilaku melukai berulang-ulang seperti desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkontrol, degradasi, cemoohan, kekerasan seksual serta penelantaran dan pengabaian yang pada akhirnya dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak di masa depan.
2. Jenis-jenis child abuse
- Kekerasan fisik (physical abuse), adalah penggunaan kekuatan fisik yang disengaja yang dapat mengakibatkan cedera fisik. Contohnya termasuk memukul, menendang, meninju, mencekik, membakar, atau unjuk kekuatan lainnya terhadap seorang anak.
- Kekerasan seksual (sexual abuse), melibatkan menekan atau memaksa anak untuk melakukan tindakan seksual. Contohnya termasuk perilaku seperti cumbuan, penetrasi, dan mengekspos anak untuk aktivitas seksual lainnya.
- Kekerasan emosional (emotional abuse), mengacu pada perilaku yang membahayakan harga diri atau kesejahteraan emosional anak. Contohnya termasuk menyebut nama, mempermalukan, menolak, menahan kasih sayang, dan mengancam.
- Menelantarkan (neglect), adalah kegagalan orang tua atau pengasuh lainnya untuk menyediakan kebutuhan dasar anak. Neglect umumnya mencakup kategori berikut:
- Fisik (misalnya, kegagalan untuk menyediakan makanan atau tempat tinggal yang diperlukan, kurangnya pengawasan yang tepat)
- Medis (misalnya, kegagalan untuk memberikan perawatan medis atau kesehatan mental yang diperlukan, menahan perawatan yang diindikasikan secara medis dari anak-anak dengan kondisi yang mengancam jiwa)
- Pendidikan (misalnya, kegagalan mendidik anak atau memenuhi kebutuhan pendidikan khusus
- Emosional (misalnya, kurangnya perhatian pada kebutuhan emosional anak, kegagalan memberikan perawatan psikologis, mengizinkan anak menggunakan alkohol atau obat-obatan lain)
4. contoh berita (anak kabur dirantai) (sumber: twitter)
Child abuse masih marak terjadi. Seperti yang dialami oleh seorang anak laki-laki (R) di Jatiasih. Seorang pengguna Instagram dengan akun @fannylauww mengunggah video yang menunjukkan keadaan R dengan kedua kakinya dirantai, leher diikat tali dan juga terdapat tali penutup mata. Melalui percakapan perekam video dengan korban, pelaku yang melakukan kekerasan tersebut adalah orang tuanya. Korban kabur dari rumah karena kelaparan. Warga sekitar segera melaporkan tindak kekerasan tersebut kepada pihak kepolisian dan kedua orang tua R dimintai keterangan. Ayah R bekerja sebagai sopir dan istrinya bekerja sebagai guru anak berkebutuhan khusus. Kedua orang tuanya mengaku melakukan penyiksaan terhadap R. Kabar terbaru menginformasikan bahwa R sudah dijemput oleh dinas sosial setempat untuk selanjutnya dibawa ke panti.
5. Faktor penyebab
Child abuse and neglect atau kekerasan dan penelantaran anak terjadi bukanlah tanpa alasan. Banyak faktor yang melatarbelakangi fenomena ini berdasarkan beberapa penelitian dan teori. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Nugroho yang dikutip dari Purnianti menyebutkan penyebab dari kekerasan anak, meliputi orang tua terbiasa menerima perlakuan kekerasan sejak kecil (sehingga cenderung meniru pola asuh yang telah mereka dapatkan sebelumnya), masalah relasi suami-istri, orang tua kurang mampu mengendalikan emosi, orang tua kurang memahami aspek perkembangan anak, kurangnya dukungan sosial, anak mengalami cacat tubuh, anak yang tidak diharapkan (hamil diluar nikah), dan kelahiran anak yang hampir merenggut nyawa ibunya sehingga anak diyakini sebagai anak pembawa sial.
Selain itu, Blumenthal pada tahun 2015 telah merangkum dari berbagai teori menjadi tiga model penyebab penelantaran, yaitu faktor orang tua, lingkungan dan ekologi-transaksional. Orang tua bertanggung jawab dalam memastikan kesejahteraan anak dan penelantaran anak dianggap karena pola pengasuhan yang tidak memadai. Karakteristik dari orang tua seperti, psikopatologi, distorsi kognitif atau mengalami perlakuan yang tidak tepat menjadi penyebab utama penelantaran anak. Untuk faktor lingkungan berupa adanya kekurangan materi yang menyebabkan penelantaran anak. Kemiskinan menimbulkan stres yang membuat orang tua tidak mampu secara materi dan emosional untuk memenuhi kebutuhan anak. Selanjutnya faktor ekologi-transaksional melibatkan interaksi antara karakteristik orang tua dan lingkungan faktor serta berkaitan dengan stres dan mekanisme koping. Ketika stres dalam keluarga melebihi kopingnya maka akan mungkin terjadi penelantaran terhadap anak.
6. Dampak ke anak
Child abuse and neglect sangat beresiko dan memiliki dampak yang sangat serius. Anak yang mengalami kekerasan dan penelantaran akan menderita baik fisik maupun psikologis. Sangat mungkin mengalami kerusakan fisik seperti luka, memar dan patah tulang. Selain itu, kondisi emosional dan psikologisnya dapat terganggu dan menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan kecemasan atau stres pasca trauma (PTSD).
Jika tidak segera ditangani maka akan menimbulkan resiko jangka panjang yang menyebabkan anak-anak korban kekerasan dan penelantaran beresiko tinggi melakukan kekerasan di masa depan, penyalahgunaan zat, pergaulan bebas, perkembangan otak yang tertunda, putus sekolah dan kemampuan kerja rendah.
7. Pencegahan + Kemana harus lapor saat terjadi?
Mengingat permasalahan child abuse and neglect dapat memberikan dampak yang berbahaya bagi anak sehingga perlu dilakukan tindak pencegahan, penanganan dan pengawasan dengan serius. Pencegahan dapat dimulai dengan memperkuat dukungan ekonomi untuk keluarga dan membuka peluang kerja sehingga dapat meringankan beban hidup. Perlu juga memberikan edukasi yang dimulai dari tingkat sekolah untuk bersikap bagaimana menghargai sesama, menumbuhkan kasih sayang, menanamkan kepedulian yang tinggi dan tanggung jawab. Bagi keluarga muda atau keluarga profesional agar diberikan pemahaman mengenai skill parenting dan pendekatan berfokus pada membentuk hubungan keluarga yang harmonis.
Sedangkan dari segi hukum sangat perlu untuk memperkuat aturan perundang-undangan yang mengatur terkait kekerasan dan penelantaran anak serta menggalakkan larangan melakukan tindak kekerasan melalui berbagai media seperti elektronik, cetak, penyuluhan dan lainnya. Kemudian, untuk kasus yang telah terjadi dapat dilakukan pelaporan segera ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak melalui nomor telepon 129. Atau bisa juga dengan melapor ke polisi atau perangkat desa setempat sehingga permasalahan segera mendapatkan penanganan. Untuk mencegah tindak kekerasan dan penelantaran terulang kembali dapat dilakukan upaya pembinaan lebih lanjut dan pemantauan yang berkesinambungan, misalnya melalui home visit dan pembinaan serta penyuluhan rutin.
Penulis: Fatiah Zahra dan Nisaul Aufa
Editor: Zahra Khairani Yudhanti
Referensi
Adawiyah, R. A. (2015). Upaya Pencegahan Kekerasan terhadap Anak. Jurnal Keamanan Nasional. 1(2), 279-295
Avdibegovic, E., & Brkic, M. (2020). Child Neglect-Causes and Consequences. Psychiatria Danubina. 32(3), 337-342.
CDC Gov. (2022). Fast Facts: Preventing Child Abuse & Neglect. Diambil pada 29 Juli 2022 dari https://www.cdc.gov/violenceprevention/childabuseandneglect/fastfact.html#
Child Welfare Information Gateway. (2019). What is child abuse and neglect? Recognizing the signs and symptoms. Washington, DC: U.S. Department of Health and Human Services, Children’s Bureau.
Fortson, B. L., Klevens, J., Merrick, M. T., Gilbert, L. K., & Alexander, S. P. (2016). Preventing child abuse and neglect: A technical package for policy, norm, and programmatic activities. Atlanta, GA: National Center for Injury Prevention and Control, Centers for Disease Control and Prevention.
Wedhaswary, I. W. (Eds). (2021). Melihat Kekerasan pada Perempuan dan Anak? Segera Lapor ke Sini! Diambil pada 29 Juli 2022 dari https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/05/103200565/melihat-kekerasan-pada-perempuan-dan-anak-segera-lapor-ke-sini-?page=all